PemiluUpdate

PKS Selalu menang

Pada pemilu 2009 PKS akan memenangkan pemilu di Jakarta dengat target suara 51 persen. Dan pada tahun 2012, PKS bertekad mendudukan kadernya di kursi gubernur.

» Jangan tertipu iklan politik

Tuesday, March 17, 2009

Kader PKS, Satu-satunya Yang Kembalikan gratifikasi ke KPK

Lebih bersyukur lagi karena satu orang kader itu menjadi satu-satunya anggota DPRD II Sumenep yang mengembalikan gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Meski jumlahnya kecil bagi sebagian orang, tapi itu sangat berarti karena telah menghentikan praktek penyimpangan kekuasaan yang berlangsung di Sumenep selama ini,” jelas Caleg DPR RI untuk Dapil Jawa Timir XI (Madura).

PK-Sejahtera Online: [Sumenep, 16/3/2009] Soal gratifikasi ternyata masih ditanggapi
berbeda oleh pejabat publik, terutama mereka yang berada di daerah..
Contohnya di Kabupaten Sumenep, dari 45 anggota DPRD II ternyata hanya
1 (baca: satu) orang yang mengembalikan gratifikasi sepanjang masa
dinas hampir lima tahun. Hal itu terungkap dalam “Dialog dan Ikrar
Antikorupsi” di gedung PKPRI Sumenep, Ahad (15/3) pagi. Acara yang
dihadiri 500 orang warga lintas partai dan kelompok itu menampilkan
pembicara: Drs. Sapto Waluyo (Anggota Majelis Pertimbangan Pusat PKS),
H. Nur Asyur (Anggota DPRD II Sumenep), Drs. Mohammad Saleh (Inspektur
Kabupaten Sumenep), KH Muh. Yasin, MHI (Ketua MUI Sumenep).

“Kami bersyukur memperoleh 1 kursi DPRD di Kabupaten Sumenep. Itu
tanda kepercayaan masyarakat,” ujar Sapto. ”Lebih bersyukur lagi
karena satu orang kader itu menjadi satu-satunya anggota DPRD II
Sumenep yang mengembalikan gratifikasi ke Komisi Pemberantasan
Korupsi. Meski jumlahnya kecil bagi sebagian orang, tapi itu sangat
berarti karena telah menghentikan praktek penyimpangan kekuasaan yang
berlangsung di Sumenep selama ini,” jelas Caleg DPR RI untuk Dapil
Jawa Timir XI (Madura).

Anggota DPRD Sumenep itu bernama Nur Asyur, yang baru menjabat wakil
rakyat sejak Agustus 2008 lewat pergantian antar waktu. Dalam dua
bulan pertama tugasnya di gedung parlemen lokal, Nur mengalami dan
menyaksikan praktek yang menggelisahkan hatinya: pemberian insentif
dari pejabat eksekutif yang menjadi mitra kerja DPRD dalam setiap
rapat atau kunjungan kerja. “Jumlahnya mungkin tidak seberapa, hanya
Rp 1-3 juta per kepala. Tapi, kalau dilakukan rombongan (5-10 anggota
Komisi DPRD) dan secara rutin, maka bisa dikalkulasi dana daerah yang
keluar untuk tujuan menyimpang itu,” papar Nur. Dalam suatu rapat atau
kunjungan Komisi DPRD, pejabat Dinas Pemda harus menyiapkan Rp 25-30
juta dana pelicin agar kebijakan/programnya disetujui wakil rakyat.

Karena bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
PKS, serta dilarang oleh UU Antikorupsi, maka Nur berangkat ke Jakarta
pada bulan Oktober untuk mengembalikan gratifikasi yang diperoleh
sebagai anggota DPRD. “Saya sempat bingung saat itu, karena tidak
pernah berkunjung ke kantor KPK. Atas petunjuk Pak Sapto, maka saya
bisa mengontak Direktur yang menangani masalah gratifikasi.. Bersama
saya ikut antri mantan Menteri yang akan diperiksa dan beberapa
pejabat DPRD dari daerah lain yang mau melapor. Mereka membawa amplop
yang tebal-tebal, sementara saya hanya menyerahkan amplop senilai Rp
2,5 juta,” Nur bercerita, yang disambut tawa riuh para hadirin.

”Petugas KPK bertanya, apa cuma sebesar itu gratifikasi yang diterima?
Saya jawab, ya karena baru bertugas dua bulan. Lalu ditanya lagi,
berapa ongkos dari Sumenep ke Jakarta? Saya bilang, lebih besar
sedikit dari dana yang dikembalikan, karena saya harus naik pesawat
mengejar waktu sebelum batas akhir satu bulan masa pelaporan,” kisah
Nur dengan lugu. Petugas KPK menerima dana itu dan memberikan tanda
terima. Di masa yang akan datang, KPK memberikan kemudahan agar Nur
dapat menulis laporan dari Sumenep dan mengirim dana gratifikasi via
rekening khusus KPK. Dengan begitu kewajiban sebagai pejabat publik
yang amanah dapat dilaksanakan, tanpa keluar ongkos tambahan.

Inspektur Kabupaten Sumenep, Mohammad Saleh, mendukung inisiatif kecil
anggota DPRD asal PKS. Hal itu menandakan bahwa upaya pembentukan zona
antikorupsi di kalangan birokrasi mungkin direalisasikan. ”Walau hanya
satu orang anggota DPRD, tindakan itu mempengaruhi institusi secara
keseluruhan. Apalagi, jika PKS nanti mendapat dukungan besar dan bisa
membentuk satu fraksi, maka dampak kebijakan bisa lebih luas lagi,”
Saleh menegaskan. Ia mengimbau agar anggota DPRD dari partai lain
melakukan tindakan serupa, pencegahan korupsi mulai dari diri sendiri
dan dari hal yang kecil. “Tindakan Nur Asyur harus didukung, bukan
malah dicemooh atau diisolasi, karena lingkungan yang permisif akan
membuat korupsi lebih merajalela,” Saleh menyimpulkan.

Praktek korupsi, menurut Saleh, bisa bermula dari pejabat eksekutif
yang ingin memuluskan program dan anggaran dinasnya agar disetujui
DPRD. Namun, bisa juga karena anggota DPRD yang meminta atau
mendesakkannya. Banyak kebutuhan politik yang tidak dapat dipenuhi
secara wajar, misalnya, dana kampanye yang sangat besar atau
permintaan konstituen yang bertubi-tubi. Politisi yang amanah akan
berusaha mencari akal untuk mendapat dana halal, sementara politisi
nakal akan mencari siasat untuk menyimpangkan uang rakyat.

”Di situlah, masalah gratifikasi memperlihatkan urgensinya. Harus
dicegah sejak dini, sebab kemungkaran kecil yang dibiarkan akan
semakin membesar, lalu dianggap sebagai kebiasaan yang tidak
bermasalah,” kata Kiai Muhammad Yasin dari MUI Sumenep. Kiai Yasin
salut kepada kader PKS yang bersusah-payah mengembalikan dana haram.
Itu sesuai dengan peringatan Nabi Muhammad Saw dalam suatu hadits yang
mengecam tindak pengkhianatan terhadap amanah publik. ”Sesungguhnya
fasilitas wakil rakyat sudah lebih dari mencukupi. Mereka mendapat
gaji yang besar, tunjungan perumahan atau kendaraan, bahkan asuransi
kesehatan untuk diri dan keluarganya. Belum lagi, tunjangan dinas
untuk melaksanakan tugasnya. Bahkan, di masa reses, masih dibiayai
negara untuk berkunjung ke daerah pemilihan.”

Sebagai bentuk komitmen kolektif, seluruh Caleg PKS dari tingkat
pusat, provinsi dan kabupaten membacakan ”Ikrar Antikorupsi”.
Sebenarnya ikrar tertulis telah ditanda-tangani semua caleg PKS di
seluruh Indonesia di atas kertas bermaterai, saat mereka mendaftarkan
diri ke Komisi Pemilihan Umum, karena itu merupakan syarat yang
ditetapkan PKS secara nasional. Namun, ikrar itu dibacakan ulang di
hadapan publik, agar masyarakat bisa mengawasi praktek setiap caleg di
daerah masing-masing. Ikrar sederhana, meski tak mudah mewujudkannya,
karena godaan ada di mana-mana.***

0 comments:

Post a Comment