PemiluUpdate

PKS Selalu menang

Pada pemilu 2009 PKS akan memenangkan pemilu di Jakarta dengat target suara 51 persen. Dan pada tahun 2012, PKS bertekad mendudukan kadernya di kursi gubernur.

» Jangan tertipu iklan politik

Monday, August 25, 2008

Pemimpin Religius dan Pembangunan Mental

KEPEMIMPINAN H Syahrial Oesman (SO) selama lima tahun terakhir (2003-2008) dinilai telah membawa pencerahan di bidang keagamaan. Hal ini dinilai berkat sikap religius SO dan perhatiannya terhadap pembangunan mental spiritual, yang seimbang dengan bidang fisik material.

Pesan ini disampaikan Majelis Taklim dan KBIH Ahlussunnah wal Jamaah, dalam surat dukungan yang diberikannya kepada SO-H Helmy Yahya (SOHE). Menurut Pembina Yayasan Ahlussunnah wal Jamaah, KH Cek Ujang bin H Hasan Syukur, majelisnya sangat terkesan pada kepemimpinan SO selama ini.

SO dinilai sangat memerhatikan pembangunan mental. Antara lain, memberangkatkan warga miskin, para kiai, ustaz dan ustazah, ke Tanah Suci Mekkah, setiap tahun. “Bukan hanya mendekati Pilkada untuk menarik simpati. Beliau (SO) sudah membantu umat yang ingin mencukupkan Rukun Islam kelima ini sejak menjabat sebagai gubernur, tahun 2003 lalu,” kata Cek Ujang, beberapa hari lalu.

Cek Ujang juga mengatakan bahwa pihaknya selama ini selalu memantau kebijakan SO di bidang keagamaan. Dan, semua itu memberikan manfaat yang sangat positif. Salah satunya, alokasi dana APBD untuk bidang pendidikan agama, yang dimulai dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah, baik pertama maupun atas.

“Kami menilai, Pak Syahrial sudah meletakkan fondasi yang kuat pada pembangunan keagamaan di daerah ini. Alokasi dana di bidang pendidikan itu sangat signifikan untuk membangun mental spiritual yang baik sejak dini,” kata Cek Ujang.

Hubungan Pemprov Sumsel di bawah SO dengan institusi keagamaan, terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga dinilai sangat baik. Hal ini sangat berguna untuk meminimalkan kemaksiatan. Antara lain, kata Cek Ujang, kerja sama antara Pemprov Sumsel dengan MUI untuk mencekal artis yang potensial menyebarkan pornoaksi dan pornografi.

“Insya Allah, pembangunan yang sudah baik ini, dapat berjalan lebih baik lagi selama lima tahun mendatang. Ke depan, mungkin lebih banyak lagi hal yang akan beliau lakukan untuk meneruskan program-program yang akan membawa rakyat Sumsel sejahtera, menjadikan Sumsel aman dan tenteram,” kata ulama kharismatis ini.

Kepedulian SO terhadap pembangunan di bidang mental spiritual ini tidak terlepas dari pembawaannya yang semakin hari semakin religius. Sebagai manusia biasa, SO sangat mungkin pernah berbuat khilaf. Namun, semakin hari, dia terlihat semakin
“akrab” dengan sejadah dan masjid.

Perasaan sebagai insan yang kecil dan tak berdaya itu semakin tampak pada dirinya, saat pulang dari menunaikan ibadah umrah, tahun 2007 lalu. Kepada wartawan, kala itu SO menceritakan pengalamannya saat ke Jabal Nur.



Utamakan Berjemaah

“Sungguh, saya merasa sangat kecil. Kita manusia ini tidak ada apa-apa dibanding kekuasaan Yang Maha. Saya juga tak dapat membayangkan bagaimana kekuatan Aisyah, yang selama beberapa hari harus naik turun bukit yang sedemikian tinggi itu. Aisyah yang sedang mengandung, setiap pagi dan sore mengantarkan makanan untuk Rasulullah. Subhanallah,” katanya.

Perasaan sebagai insan yang tak berdaya di hadapan sang Khalik itu tidak hanya disampaikannya lewat perkataan. Seorang staf di Pemprov Sumsel, menyampaikan kesaksiannya pada suatu peristiwa di ruang rapat ketika SO masih menjabat sebagai gubernur.

“Terdengar suara azan ashar. Pak Syahrial, seperti halnya semua orang, menghentikan pembicaraan selama azan berkumandang. Beliau juga mulai melepas cincin dan arloji. Usai azan, beliau minta izin keluar. Sekitar sepuluh menit kemudian, Pak Syahrial masuk ruangan. Kami melihat sisa wudhu di rambut dan wajahnya,” kata staf ini.

Itu merupakan salah satu cara SO mencontohkan perilaku baik lewat perbuatan. Dia juga mengajak semua stafnya yang muslim untuk tidak menunda-nunda salat sekalipun dalam perjalanan. Dalam banyak kunjungan, SO mampir ke masjid untuk menunaikan salat. Tak jarang, dia mengambil prakarsa sebagai imam.

Keutamaan salat berjemaah ini juga selalu disampaikannya dalam banyak kesempatan. “Memakmurkan rumah Allah itu merupakan kewajiban semua umat muslim. Jangan hanya pembangunannya yang dimakmurkan. Kalau hanya bantu semen, marmer, dan sebagainya tanpa diimbangi dengan kebersamaan untuk berjemaah, suatu ketika akan terjadi kondisi, tiang (masjid) lebih banyak daripada jemaahnya,” kata SO.



Jangan Percaya Fitnah

SIKAP religius SO merupakan salah satu pertimbangan penting yang diambil Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk menjadi salah satu partai pengusungnya. Parpol yang hingga kini terkenal menerapkan konsep amar makruf nahi munkar secara kaffah ini juga sangat peduli terhadap sikap dan moral tokoh yang didukungnya.

Akhir-akhir ini, banyak isu negatif yang dilontarkan lawan politik terhadap SO. “Kami mendengar banyak fitnah yang dilontarkan terhadap Pak Syahrial. Saudara-saudara, PKS sudah turun melakukan penyelidikan terhadap tuduhan-tuduhan itu. Hasilnya, semua tidak terbukti, semua fitnah. Mohon Saudara-saudaa tidak terpengaruh fitnah-fitnah itu,” kata Presiden PKS, Tifatul Sembiring, saat berkampanye untuk SOHE DI Lapangan Parkir Bumi Sriwijaya, Selasa (19/8).

Soal kepemimpinan dalam pandangan Islam, juga dilontarkan Raja Dangdut, Rhoma Irama, saat berkampanye di Lapangan KONI Martapura, OKU Timur, Rabu (20/8). Menurut Rhoma, SOHE yang pada Pilkada ini bernomor urut 2, memenuhi empat kriteria pemimpin. Yaitu, sidik, amanah, tabligh, dan fatonah.

Bukan hanya tokoh, seperti Cek Ujang, Tifatul Sembiring, dan Rhoma Irama yang punya pandangan yang demikian. Kesan ini melekat di hati banyak warga Sumsel.

Ahlan Wa Sahlan Ya Ramadhan

Ahlan Wa Sahlan Ya Ramadhanw
Oleh Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA

وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلُونَ

“Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab” (QS Az-Zukhruf: 44).

Ketika Allah Swt.. menjadikan Islam sebagai rahmat buat alam semesta; ketika Allah Swt. menghendaki dari umat Islam menjadi umat terbaik; ketika Allah Swt. menghendaki agar umat Islam mampu memikul amanah untuk memimpin dunia ini; ketika Allah menghendaki agar umat Islam menjadi saksi bagi seluruh umat manusia, maka ketika itulah Allah Swt. mempersiapkan umat Islam sedemikian rupa, agar umat Islam ini layak menjadi umat yang terbaik. Di antara sarananya adalah dengan pembentukan manusia yang bertaqwa. Pembentukan manusia yang bertaqwa inilah yang banyak dilupakan manusia, sehingga ukuran kemajuan atau ukuran kesejahteraan hidup diukur dengan paradigma materi. Lupa bahwa manusia itu bukan hanya dari unsur materi saja, tetapi manusia punya nurani yang harus diperhatikan, yang harus dibina sehingga pantas untuk menjadi manusia yang terbaik. Oleh karena itu Ramadhan hadir di tengah-tengah kita dalam rangka untuk menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik yang layak memimpin dunia ini.

Di dalam bulan Ramadhan banyak sekali kebajikan ilahi yang harus kita dapatkan, sehingga kita keluar dari bulan Ramadhan ini benar-benar menjadi manusia terbaik, manusia yang berkualitas, manusia yang berprestasi. Oleh karena itu marilah kita berupaya benar-beanr memahami puasa itu sebagaimana yang diharapkan Allah Swt.

Pertama, puasa membentuk manusia yang mengoptimalkan kontrol diri (self control). Mengapa? Karena puasa sangat terkait dengan keimanan seseorang. Seseorang bisa saja mengatakan dirinya sedang berpuasa, sekalipun sebenarnya tidak. Oleh karena itu puasa disebut ‘ibaadah sirriyyah (ibadah yang bersifat rahasia). Rahasia antara seorang hamba dengan Al-Kholiq. Sampai-sampai Allah Swt. mengatakan dalam sebuah hadits Qudsi yang sering kita dengar “Kulluu ‘amali ibnu aadama lahu illash-shiyaam. Fa innahu lii wa ana ajzii bihi (setiap amal manusia untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk aku. Dan akulah yang membalasnya)”. Pertanyaannya adalah apakah amal selain puasa tidak dibalas Allah? Dibalas. Tetapi kenapa dalam masalah puasa Allah menegaskan bahwa Dia yang akan membalasnya sehingga seolah-olah amal yang lain itu bukan Allah yang membalasnya? Ini merupakan isyarat Rabbaniyah bahwa amal manusia yang bernama ash-shiyam benar-benar insya Allah akan dijamin diterima oleh Allah Swt. Apakah yang lain tidak dijamin? Ini karena puasa itu adalah ibadah sirriiyyah, dimana orang tidak mengetahui dan tidak melihat ketika dia berpuasa. karean ketika kita berpuasa, tidak ada orang lain yang tahu. Maka ibadah yang sirriyyah itu adaah sangat dekat dengan keikhlasan. Dan syarat agar suatu amal itu diterima oleh Allah, selain harus benar sesuai dengan ajaaran Rasulullah Saw., harus ikhlas. Makanya kalau ingin menjadi orang yang populer, tidak bisa melewati pintu puasa. Kalau terkenal sebagai seorang mubaligh, bisa. Terkenal menjadi qori’ dan qori’ah, bisa. Terkenal menjadi politikus, bisa. Dan itu semuanya sangat rawan dengan riya’, dan riya’ itu menjadikan amal tidak diterima oleh Allah Swt. Itulah sebabnya mengapa dalam kaitannya dengan puasa ini Allah menegaskan bahwa Dia sendiri yang akan membalasnya. Inilah yang dikatakan bahwa puasa akan melatih kita untuk mempunyai tingkat kontrol yang tinggi, baik ketika kita menjadi seorang pemimpin, atau karyawan, ulama’ atau yang lainnya. Kita tidak merasa dikontrol oleh yang lainnya, akan tetapi yang terpenting adalah bahwa kita sadar bahwa kita dikontrol oleh Allah Swt.

Yang kedua, lembaga shiyam ini mendorong kita agar kita agar obsesi kita tentang kehidupan akherat itu lebih dominan daripada obsesi dunia. Jadi obsesi ukhrowi kita, agar kita menjadi hamba Allah yang akan mendapatkan kenikmatan abadi, itu harus lebih dominan daripada kesenangan yang sifatnya sementara. Karena seluruh kenikmatan yang ada di dunia ini, nikmat apa pun namanya, harta, pangkat, dan sebagainya itu semuanya bersifat sementara. Makanya dalam bahasa Al-Qur’an kenikmatan dunia itu tidak disebut nikmat, akan tetapi disebut mata’. Mata’ itu arti adalah maa yatamatta’u bihil insan tsumma yazulu qoliilan-qoliilan (mata’ adalah sesuatu yang disukai oleh manusia, akan tetapi sedikit demi sedikit akan hilang)”. Kalau kita ditakdirkan Allah mempunyai istri yang sangat cantik, ketika sudah berusai 60 tahun, maka kecantikannya pasti akan luntur, sehingga mungkin kita berpikir mencari yang masih muda lagi. Kenapa? karena kenikmatan dunia itu pasti ada batasnya. Ini adalah halyang manusiawi. Puasa itu melatih kita agar obsesi yang ada dalam diri kita itu obsesi yang tentang kehidupan yang abadi di akhirat. Makanya makanan, minuman, istri, dan semua yang halal itu kita gapai dalam rangka untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.

Di negara kita yang sedang terkena krisis multi dimensional ini dan dipenuhi dengan kerusuhan, disebabkan karena banyak manusia di negara ini ytang obsesinya bukan obsesi ukhrowi. Ada orang yang ingin menjatuhkan orang lain, ada orang yang khawatir kalau-kalau dijatuhkan. Kalau obsesi duniawi ini dominan, bisa-bisa kita akan kehilangan kehidupan ukhrowi kita. Ketika kita memasuki bilan Ramadhan, maka kita akan ditarbiyah oleh Allah agar obsesi kit aadalah obsesi ukhrowi. Namun ini bukan berarti kehidupan duniawi dilarang. Akan tetapi duniawi itu bukan yang dominan dalam kehidupan kita. Makanya kita diajarkan untuk berdo’a “Walaa taj’al mushiibatana fii diinina, walaa taj’aliddun-yaa akbaro hammina (jangan jadikan dunia sebagai obsesi terbesar dalam kehidupan kami), walaa mablagho ‘ilmina, walaa ilannaari mashiirona. Do’a ini sering dibaca, akan tetapi dalam perbuatannya warnanya lain.

Yang ketiga, dari lembaga shiyam ini akan melahirkan manusia-manusia yang benar-benanr mempunyai al-hasasiyyah al-ijtima’iyyah (mempunyai kepekaan sosial yang tinggi). Dari mana bisa kita ketahui? Ketika kita berpuasa sunnah, baik Senin-Kamis atau puasa ayyamul bidh, kita merasakan berpuasa sendirian. Dibandingkan dengan puasa di bulan Ramadhan, puasa sunnah ini perasaan kita lebih berat, karena dilaksanakan sendirian. Ini yang harus kita perhatikan, sekarang ini bangsa kita (sebagian besar) sudah kehilangan kepekaan sosial. Kalau ada tindak kejahatan di tempat keramaian, sangat langka kita temukan orang yang peduli dengan membantu melawan penjahat. Kalau ada wanita yang sangat cantik lewat dan hampir semua mata melihat, apakah ada orang yang memprotes hal itu? Padahal, bukankah wanita itu isterinya orang yang haram untuk dipelototi? Bahkan perbuatan seperti ini kadangkala diberikan pembenaran dengan dalih ‘mubadzir’ kalau tidak dilihat. Ini menunjukkan rendahnya sensitifitas keimanan (hasasiyah imaniyah). Yang ada adalah kerawanan dalam kehidupan sosial, karena kemaksiatan sudah melembaga dan orang diam saja ketika melihatnya. Padahal di masa Rasulullah SAW, orang tidak akan tinggal diam ketika melihta suatu kemungkaran. Bahkan ketika jauh setelah kehidupan Rasulullah, baik di jaman tabi’in maupun tabi’it tabi’in, tetapi mereka masih komitmen dengan ajaran Allah, maka sensitifitas sosial itu sangat tinggi. Misalnya, di jaman dahulu kalau kita shalat jama’ah di masjid, kemudian kita melihat ada tetangga atau saudara kita tidak datang, maka setelah selesai shalat, semua jama’ah langsung mendatangi orang yang tidak shalat berjama’ah tadi untuk menziarahinya, seolah-olah orang yang tidak shalat jama’ah itu adalh orang yang mati sehingga perlu dita’ziyahi. Kalau seandainya kita tidak shalat jama’ah dan kemudia kita dita’ziyahi, maka kita akan termotivasi untuk selalu shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah adalah ibadah yang sangat terkait dengan sensitifitas sosial. Ironisnya di negara ini ketika ada orang diganggu, dicopet, atau digoda, yang lainnya diam saja, dan bisikan yang ada dalam dirinya adalah ‘yang penting saya selamat’. Orang seperti ini adalah orang yang mati dalam kehidupannya, karena bahasa masing-masing itu bahasa akhirat, bahasa ketika kiamat tiba, sehingga orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Suami lari dari istri dan anaknya, anak lari dari orang tuanya. Allah berfirman:

“Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkalala yang kedua). Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya” (QS ‘Abasa: 33-37).

Jadi kehidupan masing-masing itu adalah kehidupan akherat. Akan tetapi sekarang ini sudah ada di dunia., Berarti seolah-olah sebagian masyarakat sudah merindukan kematian, padahal masih hidup. Makanya banyak kebajikan yang tidak jalan, keadilan tidak tegak. Dalam kondisi demikian, puasa hadir di tengah-tengah kita untuk memperlihatkan bagaimana Islam itu benar-benar mempunyai kepedulian terhadap kehiduapan bermasyarakat.

Pada masa Rasulullah Saw., ada juga kemaksiatan. Ada juga shahabat yang berbuat maksiat, karena mereka bukan malaikat. Sekalipunsebaik-baik generasi adalah genarasi Rasulullah Saw., akan tetapi ada saja yang berbuat maksiat. Ada yang pernah mencuri, ada yang pernah berbuat zina dan yang lainnya. Akan tetapi kriminalitas itu masih sangat kecil sekali, sehingga jarang ditemui. Itu pun bersifat pribadi dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ironisnya, sekarang maksiat itu dilakukan ramai-ramai dan secara terang-terangan tanpa malu-malu. Sehingga yang benar itu tertutup, keamanan tidak nampak. Yang nampak adalah sesuatu yang menakutkan. Bahkan kadang-kadang sampai di tempat yang suci seperti masjid, kadang-kadang orang tidak bisa khusyu’ shalatnya karena takut sepatu atau sandalnya hilang. Kalau di masjid saja orang masih tidak khusyu’ beribadah karena khawatir menjadi korban kejahatan, bagaimana di tempat yang lain? Ini semua karena bayak orang yang telah kehilangan kepedulian sosialnya. Inilah bedanya antara jaman kita dengan jaman Rasulullah Saw. Bahkan di masa Rasulullah Saw., ketika ada seorang berbuat zina dan kemudian dia hamil, dia sendiri kemudian bertaubat dan malah dia sendirilah yang melakukan perbuatannya itu kepada Rasulullah Saw., karena ketika dia berzina, itu terjadi karena kelemahamn iamnnya. Dalam hadits dijelaskan “Laa yadri azzani ila yazni wahuwa mu’min (tidaklah seseorang berani berbuat zina ketika zina, sementara dia dalam keadaan beriman)”. Ketika seorang perempuan tadi berzina, dan setelah itu ia sadar bahwa ia telah berbuat dosa, langsung dia datang kepada Rasulullah Saw. minta agar dia dihukum sesuai dengan ajaran Islam. mari kita merenung. Memang benar bahwa pada masa Raulullah pun ada orang yang berbuat salah. Akan tetapi ketika ada diantara mereka yang berbuat salah, dia langsung mengaku dan minta dihukum, padahal oranmg lain tidak tahu. Sekarang bagaimana kondisinya? Jadi kalau kita bersalah, hendaklah kita datang untuk minta dihukum. Kenapa? Karena seorang mukmin yang benar-benar beriman, benar-benar yakin bahwa siksa akhirat itu lebih pedih. Dengan demikian, benar-benar akan efisien tenaga itu. Kalau seandainya semua orang sama dengan wanita yang bertaubat ini, maka aparat hukum tidak perlu capai-capai.

Ash-shiyam secara bahasa artinya adalah al-habsu (menahan diri), menahan diri dari seluruh bentuk kemaksiatan. Kalau setiap kita menahan diri, jangankan terhadap yang haram, yang mubah saja akan kita tinggalkan. Makanan, minuman, istri itu kan boleh. Akan tetapi di bulan Ramadhan pada siang harinya semua bisa kita tahan. Kalau yang halal saja bisa kita tahan, apalagi yang haram? Oleh karena itu jangan dalam berpuasa malah terbalik, yaitu yang mubah ditinggalkan tetapi yang haram dilakukan. Makanan, minuman ditinggalkan, ghibah dilakukan, korupsi jalan terus, dengan alasan untuk persiapan lebaran.

Inilah kepekaan-kepekaan ruhani yang benar-beanr mengalir dalam setiap diri kita ketika kita berpuasa sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt. Dan jangan sampai ada di antara kita yang menganggap bahwa puasa itu berat. Bahkan Rasulullah Saw. dan para shahabat serta para tabi’in, banyak yang menggunakan Ramadhan untuk berjihad di jalan Allah Swt. Perang Badar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut yang terjadi pada abad ke-7 Hijriyah, dimana tentara-tentara Islam di bawah pimpinan mamaalik (jama’ dari mamluk) bisa mengalahkan tentara-tentara salib, terjadi di bulan Ramadhan. Saking hebatnya kemenangan yang dicapai umat Islam pada bulan Ramadhan, Allah Swt. mengabadikannya dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat pada QS Al-Anfal, dimana perang Badar dikatakan sebagai yaumal furqoon, sebagaimana yang terdapat pada firmanNya:

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) dihari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu” (QS Al-Anfal: 41).

Pasukan kebenaran yang jumlahnya sedikit, tetapi dimenangkan oleh Allah Swt. dalam melawan kekuatan bathil yang mempunyai kekuatan besar dan jumlah tentara yang sangat banyak. Oleh karena itu Ramadhan yang akan kita lalui ini semoga mengantarkan kita pada kemenenagan, kemenangan melawan hawa nafsu, kemenangan bangsa ini dalam melawan krisis, kemenangan umat Islam dalam melawan perselisihan, percekcokan antara sesama umat Islam, kemenangan bangsa ini dalam menghadapi konspirasi dunia internasional yang dimotori oleh Yahudi, yang mereka tidak senang melihat Indonesia maju karena negara ini adalah negara Islam. oleh karena itu marilah kita jadikan Ramadhan ini kita jadikan momentum Islam untuk kembali kepada Allah sehingga mencapai kemenangan yang hakiki.

Wallahu a’lam bishshawab.

Pahitnya Buah Kedaulatan Rakyat

Sebuah renungan dan himbauan bagi Partai-partai

untuk PKS, PUI, PPP, PSII 1905, Partai Masyumi, PBB, PSII, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, PNU, PKU, PAN dan PKB (Indonesia).

Tulisan hari ini yang saya angkat adalah menanggapi buah kedaulatan (sovereignity) rakyat, yang ternyata setelah menanam pohon demokrasi dengan diberi pupuk pemilihan umum dengan tujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga ciptaaan sistem trias politika yang nantinya akan memilih kepala pemerintahan, ternyata buahnya tidak seperti yang diharapkan, dimana buah dari kedaulatan rakyat yang merupakan inti yang hakiki dari demokrasi ternyata rasanya pahit.

Partai-partai politik yang berasas Islam yang dimotori oleh PKS, PUI, PPP, PSII 1905, Partai Masyumi, PBB, PSII, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, PNU dan PKU juga partai-partai politik yang berasas pancasila dengan berbasis mayoritas kaum muslimin yang dimotori oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) ternyata setelah menanam demokrasi barat dengan memberikan pupuk pemilu menghasilkan buah demokrasi yang mempunyai hakekat kedaulatan rakyat yang rasanya pahit, dimana hampir sebagian besar kaum muslimin tidak mau memakannya.

Mengapa buah kedaulatan rakyat ini terasa pahit?

Karena hasil pemilihan umum tanggal 7 Juni 1999 yang lalu melahirkan partai sekuler PDI-P-nya Megawati Soekarnoputri dan partai sekuler Golkar-nya Akbar Tandjung dan Habibie keluar sebagai pemenang dari hasil pengumpulan suara rakyat. Inilah buah pahit yang keluar dari hasil pupuk pemilu dari pohon demokrasi yang tidak diharapkan oleh partai-partai politik berasas Islam dan berasas pancasila dengan basis kaum muslimin.

Begitu pula bila kita melihat hasil Pemilu 2004 yang dilanjutkan dengan pemilihan presiden, hingga detik ini walaupun didukung oleh partai politik berasas Islam, hingga saat ini tidak ada satupun partai-partai Islam maupun pihak eksekutif untuk kembali kepada Syariat Islam, Al Quran dan Sunnah.

Tetapi memang nasi sudah menjadi bubur. Demokrasi barat yang berhakekat kedaulatan rakyat harus ditegakkan di Daulah Pancasila dengan UUD'45-nya yang sekuler dan merupakan hasil perjanjian bersama dari hampir sebagian besar rakyat Indonesia.

Nah sekarang, saya melihat dari sudut pandang konstitusi-nya daulah Pancasila yaitu UUD 1945 dengan kesimpulan bahwa UUD 1945 adalah UUD yang sekuler.

Dalam UUD 1945 tidak satu patah katapun yang tertuang dalam ayat-ayat yang menyatakan bahwa Presiden Negara Republik Indonesia adalah harus seorang laki-laki, muslim, bebas, dewasa, bijaksana dan adil seperti yang terdapat dalam persyaratan untuk menjadi seorang calon Khalifah di Khilafah Islam.

Nah, karena menurut Undang Undang Dasar 1945 Daulah Pancasila tidak menyebutkan secara jelas tentang syarat-syarat calon (misalnya, laki-laki, muslim, bebas, dewasa, bijaksana dan adil) untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, maka secara hukum yang ditunjang oleh konstitusi (UUD 1945), siapapun tanpa memandang jenis kelamin dan agama berhak menjadi calon atau dicalonkan untuk menjadi pemimpin Daulah Pancasila.

Jadi, walaupun terasa pahit memakan buah dari hasil pohon kedaulatan rakyat yang tumbuh di Daulah Pancasila dengan UUD'45-nya yang sekuler, maka seluruh rakyat Daulah Pancasila harus memakannya juga.

Kesimpulan akhir adalah, selama Islam yang menerapkan kedaulatan Allah masih dicampur adukan dengan kedaulatan rakyat yang merupakan inti yang asasi dalam demokrasi, maka selama itu usaha untuk menegakkan Islam secara menyeluruh hanyalah merupakan fatamorgana.

Inilah sedikit tanggapan/ nasehat dari saya untuk PKS, PUI, PPP, PSII 1905, Partai Masyumi, PBB, PSII, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, PNU, PKU, PAN dan PKB.

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Apakah Ideologi diartikan dg Aqidah bila dilihat dari sudut Islam

SEKILAS MENGGALI IDEOLOGI DIHUBUNGKAN DENGAN AQIDAH DILIHAT DARI SUDUT ISLAM.

Dalam tulisan kali ini akan disajikan masalah yang menyangkut ideologi dihubungkan dengan aqidah dilihat dari kacamata Islam.

Agar supaya pembicaraan kita ini tidak meluas kesegala penjuru, maka disini perlu ada pemagaran, yaitu melalui batasan-batasan yang diformulasikan kedalam bentuk pertanyaan yang bentuknya adalah apakah ideologi itu adalah aqidah kalau dilihat dari sudut pandang Islam?

Nah, dengan adanya formulasi pertanyaan diatas, kita akan mudah untuk berjalan menuju kearah tujuan guna mendapatkan jawabannya.

Sekarang kita mulai menggali apa yang disebut dengan panggilan atau penamaan ideologi itu.

Pertama kita bertanya, apa arti ideologi itu?

Nah, jawabannya adalah pengertian ideologi adalah rancangan yang tersusun didalam pikiran atau gagasan atau cita-cita yang membentuk dasar bangunan misalnya dalam teori politik atau ekonomi atau sosial kalau mengikuti apa yang tertuang dalam The Oxford guide to the English language.

Atau dengan kata lain pengertian ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup kalau mengikuti apa yang tertuang dalam kamus besar bahasa Indonesia.

Nah sekarang, dengan membaca dan menggali pengertian yang terkandung dalam istilah atau kata ideologi, maka kita sudah dapat mengambil poin-poin atau butiran-butiran yang ada dan terkandung dalam istilah ideologi itu, yaitu ideologi didalamnya mengandung pertama, rancangan yang tersusun dalam pikiran, atau gagasan-gagasan, atau cita-cita. Kedua, bangunan atau asas atau dasar teori. Ketiga, pemberi arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.

Jadi, lahirnya ideologi itu adalah karena adanya hasil pemikiran manusia yang dituangkan dalam bentuk konsep bersistem yang menjadi dasar atau asas teori yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup manusia.

Nah sekarang, kita telah menemukan inti utama dari ideologi yaitu ideologi adalah hasil pemikiran manusia.

Selanjutnya, karena kita akan mencari hubungan dan kaitan antara ideologi dengan aqidah, maka kita perlu menggali apa yang dimaksud atau diartikan dengan aqidah itu.

Nah, pengertian aqidah adalah kepercayaan atau keyakinan. Dilihat dari sudut Islam maka ditemukan bahwa aqidah yang dimaksud dalam Islam adalah kepercayaan atau keyakinan kepada Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya Muhammad saw.

Jadi, aqidah atau kepercayaan atau keyakinan ini menurut kacamata Islam adalah bukan lahir dari hasil pemikiran manusia, melainkan lahir karena Islam yang diturunkan oleh Allah SWT.

Nah sekarang, dapat kita mengambil poin-poin yang berbeda antara ideologi dan aqidah yaitu ideologi lahir karena hasil pemikiran manusia, sedangkan aqidah lahir karena Islam yang diturunkan oleh Allah SWT.

Jadi dapat kita menyimpulkan sekarang yaitu ideologi adalah buatan manusia, sedangkan aqidah lahir karena Allah SWT.

Nah disinilah sekarang kita sudah dapat memperoleh gambaran yang jelas bahwa ideologi adalah tidak sama dengan aqidah. Karena itu kalau ada orang yang menulis bahwa persaudaraan atau kekeluargaan itu adalah didasarkan pada ”ideologi atau aqidah”, maka penggunaan kata ideologi sama dengan istilah aqidah adalah tidak benar dan tidak tepat dalam penggunaannya.
Mengapa ?

Karena kalau kekeluargaan atau persaudaraan didasarkan kepada ideologi, maka akan lahir pengertian persaudaraan dibawah bendera ideologi sosialisme atau persaudaraan dibawah bendera ideologi pancasila atau kekeluargaan dibawah bangunan ideologi kapitalisme.

Begitu juga kalau istilah aqidah diterapkan dalam kekeluargaan atau persaudaraan, maka akan ditemukan kekeluargaan atau persaudaraan berdasarkan aqidah Islam.

Nah, sekarang kalau kita hubungkan istilah ideologi dan aqidah ini dengan Sahih Muslim: 614 yang didalamnya menyinggung kata-kata ”Allahumma shalli ’alaa Muhammad wa ’alaa aali Muhammad“, maka yang dinamakan dengan ”aali Muhammad“ atau ”ahli keluarga Muhammad” adalah semua umat Islam yang memiliki aqidah Islam atau kepercayaan atau keyakinan kepada Islam.

Jadi, yang namanya ”aali Muhammad“ atau ”ahli keluarga Muhammad” adalah makin luas, bukan hanya keluarga Nabi Muhammad yang diikat dengan perkawinan dan darah saja, melainkan seluruh maum muslimin dan muslimat yang memiliki aqidah Islam.

Kemudian, kalau juga ”aali Muhammad“ atau ”ahli keluarga Muhammad” dihubungkan dengan istilah ideologi, maka akan lahir ”ahli keluarga Muhammad” adalah orang-orang yang memiliki ideologi Islam, yaitu orang-orang yang mendasarkan konsepsi pikirannya kepada Islam bukan hanya orang-orang yang ada hubungannya dengan tali perkawinan atau turunan darah dengan Nabi Muhammad saw saja.

Jadi sekarang dapat diambil kesimpulan yaitu kalau pengertian ideologi dan aqidah dijadikan sebagai dasar acuan untuk mengerti dan memahami bangunan kata kata ”aali Muhammad“ atau ”ahli keluarga Muhammad”, maka akan ditemukan bahwa anggota keluarga Rasulullah saw adalah semua umat Islam yang beraqidah Islam dan semua umat Islam yang memiliki ideologi Islam, bukan hanya sekedar keluarga yang diikat oleh tali perkawinan dan darah keturunan dengan Rasulullah saw saja.

Terakhir, dengan berdasarkan pada apa yang dijelaskan diatas, maka sekarang kita sudah dapat memberikan jawaban atas pertanyaan apakah ideologi itu adalah aqidah kalau dilihat dari sudut pandang Islam?

Maka jawabannya yaitu ideologi adalah tidak sama dengan aqidah. Ideologi adalah hasil pemikiran manusia yang dituangkan dalam bentuk konsep bersistem yang menjadi dasar atau asas teori yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup manusia. Sedangkan aqidah adalah bukan lahir dari hasil pemikiran manusia, melainkan lahir karena Islam yang diturunkan oleh Allah SWT. Kemudian kalau ideologi dan aqidah dihubungkan dengan ”aali Muhammad“ atau ”ahli keluarga Muhammad”, maka anggota keluarga Rasulullah saw adalah semua umat Islam yang beraqidah Islam dan semua umat Islam yang memiliki ideologi Islam, bukan hanya sekedar keluarga yang diikat oleh tali perkawinan dan darah keturunan Rasulullah saw saja.

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

PKS Siap Terima Caleg Non-Muslim

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. (QS Al Maidah : 51)

Al Quranul Karim telah berbicara untuk tidak mengambil pemimpin dari kalangan orang-orang kafir. Ironis memang melihat kenyataan bahwa islam telah ditinggalkan demi nilai-nilai duniawi.

PKS mengaku siap menerima anggota non-Muslim untuk jadi anggota DPR. Selama ini telah memiliki anggota DPRD yang non-Muslim di beberapa daerah. Wakil Sekjen PKS Fahri Hamzah mengungkapkan, partainya siap menerima anggota non-Muslim untuk dijadikan anggota DPR dari PKS dan hal itu merupakan konsistensi atas keterbukaan parpol tersebut.

"Kami siap mencalonkan anggota non-Muslim sebagai anggota DPR dari PKS dan kami juga siap berkerja sama atau berkoalisi dengan partai apa pun dan lembaga mana pun," kata Fahri saat dihubungi Antara di Jakarta, Ahad.

Fahri yang sedang menghadiri penutupan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di Sanur, Bali, itu menyatakan kesediaan partainya membuka diri terhadap anggota-anggota yang non-Muslim juga sebagai konsistensi keterbukaan PKS yang sebenarnya telah dirintis sejak awal.

Selama ini, ia menambahkan, PKS juga telah memiliki anggota DPRD yang non-Muslim di beberapa daerah.

Langkah PKS menjadi partai yang terbuka terhadap semua kalangan/agama di Indonesia itu juga telah disambut positif oleh Sebali Tianyar Arimbawa, tokoh pendeta Hindu di Bali yang biasa disebut Ida Pedanda.

Dukungan tokoh sepuh Hindu di Bali tersebut atas keterbukaan PKS itu dikemukakannya pada saat dialog kebangsaan dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di kawasan Pantai Sanur, dengan menyatakan bahwa dirinya siap diajukan sebagai calon legislatif (caleg) dari PKS.

"PKS itu yang saya tahu sudah menjadi partai terbuka dari dulu. PKS memahami kemajemukan di negeri ini," kata tokoh asal Griya Tegeh Amlapura itu.

Lebih lanjut ditegaskannya bahwa wajah Islam yang menghargai pluralitas atau keragaman telah mampu ditampilkan PKS.

Ia juga berpesan agar PKS memegang komitmen untuk tetap menjaga sikap moral dan kepedulian sosial seperti yang ditunjukkan selama ini. Terlebih PKS didominasi kaum muda yang mempunyai waktu lebih panjang dalam berjuang membangun bangsa.


Naudzubillah min zalik..

sumber: www.arrahmah.com

Nasionalisme dan Ideologi Islam

Akar nasionalisme

"Kami hanya mengikuti warisan nenek moyang kami!" demikian celoteh bangga umat Nabi Shaleh. "Bangsa Aryan adalah pilihan para dewa", teriak Shah Iran. "Kehadiran negara Jerman raya adalah kemestian sejarah, sebab hanya bangsa ini saja yang layak memimpin dunia!" Demikian Hitler berslogan dalam Mein Kampf. Cukup idiomatik. Persis sesamanya - di mana semua ucapan di atas adalah bersumber dari rasa kebanggaan primordialisme bangsa dan ras yang akhirnya membawa kepada legitimasi, dominasi dan kuasa mutlak bangsa ke atas suatu bangsa lain.

Puncaknya, karena kesukaran mereka untuk melepaskan diri dari tradisi leluhur. Buat mereka, inilah nasionalisme tulen dan inilah juga patriotisme yang tuntas. Sebaliknya hakikat yang bersemi, menunjukkan nasionalisme mempunyai penafsiran yang berbeda, malah lebih organik sifatnya. Malah, dalam mendefinasikan nasionalisme, kita seharusnya tidak terperangkap dengan istilah patriotik, karena makna patriotik hanya terbatas dalam manifestasi diri terhadap negara melalui sebarang perlakuan, pengungkapan, penulisan dan ekspresi diri.

Manakala nasionalisme pula dimaknai sebagai emosi individu atau publik di atas satu landasan persaudaraan terotikal, historikal, bahasa dan cita-cita unggul di atas prinsip moral dan politik demi membela kepentingan negara-bangsanya. Daripada dua gambaran perbedaan inilah, nyata sekali antara nasionalisme dan patriotisme adalah pemikiran yang membawa kefahaman yang berlainan, namun tidak di dapat dinafikan ia mungkin ada beberapa titik persamaan.

Di dalam dunia hari ini, apabila kita merujuk kepada kelahiran sebuah negara melalui pengobaran semangat nasionalisme, ia adalah berkait rapat dengan kelangsungan lima teori utama dalam proses pembinaan sebuah negara. Ini termasuklah, teori semulajadi (natural theory), teori ketuhanan (divine theory), ketuanan raja (divide right of king), kontrak sosial (social contract) dan teori kekerasan (hardliner theory). Kelima-lima kategori ini secara tidak langsungnya telah membantu kita untuk mengklasifikasikan corak pemerintahan sebuah negara-bangsa yang ada. justru, dalam rangka kita untuk menjejak akar nasionalisme, seharusnya kita menghimbau kembali intipati era renaissance, karena di sana ada beberapa faktor rinci yang telah mencetus dan merangsang ideologi nasionalisme dalam bangsa Eropa serta dunia secara amnya.

Pertama, jatuhnya hukuman pembakaran hidup-hidup ke atas Rektor Universiti Praha (Prague), John Hus di Konstanz ( Konstaz adalah satu daerah di perbatasan antara Switzeland dan Jerman).

Kedua, tercetusnya perperangan Hussenitz di Bohemia dan Moravia sehingga membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Czech. Perlu diketahui, perperangan Hussenitz ini tercetus ekoran reaksi amarah rakyat Czech terhadap pembunuhan John Hus.

Ketiga, kelahiran gerakan reformasi pimpinan Martin Luther yang lantang mengkritik kebobrokan institusi gereja Katolik. Dan kelima, terdapatnya terjemahan kitab Bible dalam bahasa Jerman sehingga ia menerbitkan rasa keunggulan bangsa Aryan di dalam rakyat Jerman.

Maka daripada kelima-lima faktor ini, maka dapatlah kita rumuskan bahwa nasionalisme adalah ideologi yang bermuara di Eropa ketika era renaissance di mana salah satu objektifnya asalnya adalah untuk menanamkan kesadaran nasional di kalangan rakyatnya yang telah sekian lama ditindas dan dizalimi. Rousseau, salah seorang pemikir revolusi Perancis contohnya, ketika berbicara mengenai kedaulatan rakyat, seringkali beliau menekankan pentingnya penyuburan ideologi nasionalisme karena baginya, inilah ideologi yang menjadi sumber kebangkitan masyarakat. dampak daripada seruan demi seruan oleh Rousseau dan juga Voltaire, ideologi nasionalisme akhirnya berhasil menjelmakan revolusi Perancis dan seterusnya membuka era pencerahan (englightment) di seluruh benua Eropa. justru itu, nasionalisme yang pada peringkat permulaan seruannya adalah di asaskan dari hasrat murni ke arah mencapai; Liberte (kebebasan), Equalite (persamaan) dan Fraternite (solidaritas)!

Sementara itu dalam sejarah Islam, ideologi nasionalisme mula menyerap masuk ke dalam pemikiran ummah ketika penghujung era kekuasaan Ottoman yang ketika itu di bawah kepimpinan Sultan Abdul Hamid II di Turki. Ketika ini, kekuasaan Ottoman sedang menghadapi krisis dalaman yang kronik di serata tanah naungannya (Hamid Enayat 2001: 171). Dalam keadaan inilah, negara Barat (seperti Britain dan Perancis) telah bijak mengambil kesempatan dengan menggalakkan pembentukan pergerakan-pergerakan yang berunsurkan nasionalisme di samping coba untuk membudayakan sistem kepartaian di tanah air muslim. Selain bertujuan untuk memusnahkan kekuasaan terakhir dalam sejarah Islam itu, tindakan Barat ini juga bertujuan untuk memisahkan-misah tanah air Islam kepada sekte-sekte bangsa yang tertentu.

walhasil, daripada kuatnya pengaruh ideologi nasionalisme yang disemarakkan oleh Barat ini, maka lahirlah pergerakan yang dinamakan seperti al-Fatat (pertubuhan untuk membahagikan negara-negara di bawah naungan kekuasaan Ottoman) dan al-Ahd (pergerakan nasionalis Arab). Kita sebenarnya tidak perlu melihat jauh untuk membuktikan hidden agenda Barat dalam menyebarluaskan ideologi nasionalisme di kalangan tanah air muslim. Satu contoh yang terkenal dalam sejarah Islam dan Arab adalah; bagaimana British telah membantu secara ekonomi dan politik terhadap perjuangan Syarif Husain di Hijaz supaya mereka bangkit memberontak terhadap kekuasaan Ottoman yang berpusat di Turki. Dalilnya cukup mudah; masyarakat Arab telah sekian lama di zalimi oleh kekuasaan Ottoman dan kini tibalah detik perjuangan pembebasan mereka.

Maka, bertitik tolak dari gambaran inilah, terbukti bahwa niat murni di awal kelahiran ideologi nasionalisme di negara-negara Eropa, akhirnya ia telah disalahgunakan di dunia Islam - semata-mata untuk memisahkan tanah air muslim kepada etnik-etnik induk seperti; Arab, Turki, Parsi dan Kurd. Antara nasionalisme Barat dengan Timur Apa perbedaannya, antara Jose Rizal dengan Adolf Hitler? Atau, antara Umar Mukhtar dengan Mossoulini? Juga, antara Bhagat Singh dengan Winston Churcill? Walhal kedua-duanya adalah berjiwa nasionalis sejati pada kacamata rakyatnya! justru, dalam meleraikan persoalan di atas, kita boleh menyoroti sejauh mana tokoh-tokoh ini memaknai nasionalisme menurut mazhab kebenaran, kebebasan dan keadilan. Hitler, Mossoulini dan Churcill merupakan karekter kelahiran Barat yang berjiwa nasionalis dalam versi; menaklukkan dan memperluas tanah jahahannya. Sebaliknya Rizal, Mukhtar dan Bhagat pula adalah nasionalis Asia yang berjuang demi untuk membebaskan tanah airnya daripada cengkaman para imperialis. Mereka-mereka ini bernuasa dari dua aliran pemikiran yang berbeda dan dari dua benua yang berbeda. Masing-masing adalah oposisi sesamanya. Jadi, antara mereka, inilah asas ketara perbedaan nasionalisme Barat dengan Timur.

Beda pada pemaknaannya. Kedatangan Barat ke Timur telah memprofil nasionalisme ke dalam beberapa ciri. Di antara dua ciri utamanya adalah; imperialisme dan koloniolisme. Dan, terdapat tiga tujuan imperialisme menurut rencanaan Barat yaitu; misi menyebar ideologi, kebudayaan dan agama, mengeksplotasi sumber ekonomi Timur dan merebut kekuasaan ke sesuatu wilayah. Manakala kolonialisme pula membawa maksud yang lebih komprehensif di mana ia merupakan satu kekuatan menyeluruh; ekonomi, politik, sosial sebuah bangsa untuk menakluki bangsa yang lain di tanah airnya sendiri. Sebenarnya, sikap hagemoni Barat ini memang tidak perlu kita herankan. Mengapa? karena Barat ketika itu merasakan geografi negaranya kecil dan lantaran itu, mereka telah membuat keputusan untuk menjelajah dan mencari tapak-tapak baru di berbagai belahan dunia terutama di Timur bagi memperluas geografi kekuasaannya (Hashemi Rafsanjani 2001: 71). karena dorongan inilah, maka negara-negara Barat yang kecil seperti Portugal, Sepanyol dan Belanda mampu untuk menaklukkan negara-negara di Asia Pasifik yang luas semata-mata untuk menyempurnakan agenda imperialisme; keagungan misi kebangsaan, memanipulasi kemakmuran ekonomi Timur dan mendominasi sebuah wilayah sebagai tanah jajahannya. Ironinya, tatkala era kolonialisme sepatutnya telah berakhir, dunia kini masih meneruskan rentetan kolonialisme dengan kemunculan neo-kolonialisme yang membawa misi penjajahan baru terhadap negara miskin dan negara membangun.

Pengamalan neo-kolonialisme oleh Barat ini tidak lain dan tidak bukan, merupakan nestapa baru bagi umat manusia yang konon di katakan telah bertamadun. Benarlah apa yang dirintihkan oleh Chairil Anwar, pujangga nasionalis Indonesia sekali berarti, sesudah itu mati (Khalid Jaafar 2003: 132). Manakala dalam membicarakan mengenai perjuangan nasionalisme di Timur ia lebih menjurus kepada perjuangan rakyat untuk membebaskan tanah airnya dari cengkaman penjajah. Bangsa-bangsa di Timur telah melahirkan satu sikap penentangan dan anti-penjajahan Barat. Mungkin tidak dapat di nafikan dalam satu aspek yang berbeda, antara sumbangan besar imperialisme Barat adalah, mereka melahirkan pahlawan-pahlawan Asia seperti; Jose Rizal, Umar Mukhtar, Daud Berueh, Bhagat Singh, Mahatma Gandhi dan Ahmad Boestamam.

Namun begitu, di balik kecaman keras kita terhadap Barat angkara penindasannya yang dilakukannya, sebenarnya terdapat juga tindakan mirip Barat dari kalangan negara-negara Asia sendiri. Jepang misalnya, telah menaklukkan hampir satupertiga negara-negara Asia semasa Perang Dunia Kedua sebelum ia ditundukkan oleh Amerika Syarikat selepas gugurnya bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki. Sama seperti Barat, keinginan dan rencana Jepang ketika itu adalah terbit daripada fanatik nasionalismenya yang cukup tinggi untuk menaklukkan seluruh Asia. Di samping itu, bagi tentera dan rakyat Jepang, ketaatan kepada maharaja dan pemerintahnya adalah kemuncak pengabdian seorang rakyat terhadap pemerintah serta lambang kesempurnaan nasionalismenya.

Begitu juga dengan China. Mao Zedong, pemimpin revolusi rakyat China, adalah pemimpin yang coba untuk merealisasikan ketetapan dasar luar - satu china. Implikasi dari dasar ini, maka negara teologi Tibet yang dipimpin oleh Dalai Lama telah diserang dan ditakluk oleh China meskipun kedua-dua negara tersebut berbeda perjalanan sejarahnya.

Dalai Lama pemimpin agung Buddha Tibet secara monarkinya telah sekian lama memimpin masyarakat Tibet dengan penuh keharmonian dan keamanan. Kendatipun begitu, dengan kehadiran tentera rakyat China, Tibet telah menjadi medan pertempuran yang tidak berkesudahan hingga kini! Jadi, di sebalik kezaliman Barat yang jelas terpapar, sebenarnya turut terselit segelintir bangsa Asia yang menganut fahaman nasionalisme menurut versi Barat. Kesantunan Asia yang di kagumi oleh masyarakat dunia akhirnya tercemar dek keangkuhan dan kebanggaan yang ekstrim terhadap status bangsanya.

Nasionalisme dalam perspektif Al-Banna, Khomeini, An-Nadawi Imam Hassan Al-Banna, adalah pengasas pergerakan Ikhwanul Muslimin. Beliau pernah merasakan hidup derita di bawah penjajahan Barat. Maka bertitik tolak kondisi demikian, wujud semacam perasaan revolusioner dalam dirinya untuk membebaskan Mesir dari belenggu penjajahan British. Lantas, melalui Ikhwanul Muslimin, beliau menyemarakkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Mesir untuk bangkit mencantas kolonialisme British melalui usaha diplomatik dan berbagai siri demostrasi di atas berbagai isu seperti; konflik Palestin-Israel, eksploitasi terusan Suez dan pengaruh budaya Barat yang kian menular di sekitar Kaherah. Alternatif dari moqawama (penentangan) Al-Banna adalah bertujuan untuk menegakkan negara Islam dengan tiga teras kenegaraannya; tanggungjawab pemerintah melindungi kepentingan rakyat, wehdatul ummah dalam ikatan keagamaan dan penghormatan hak rakyat oleh pemerintah. Inilah tiga tawaran Al-Banna dan Ikhwanul Muslimin kepada rakyat Mesir bagi mengantikan sistem penjajah yang diamalkan oleh monarki Mesir pada ketika itu (Siddiq Fadhil 1999: 14). Di sepanjang liku kehidupannya, Al-Banna telah memperlihatkan kematangan dan kebijaksaan sebagai seorang pemimpin besar. Beliau adalah pemimpin yang dilahirkan untuk ummah (born for Ummah). Di waktu memuncaknya ideologi nasionalisme di Mesir, Al-Banna dengan pintar telah mengadunkan ideologi tersebut dengan Islam. Tanpa menolak nasionalisme secara total, Al-Banna menampilkan corak nasionalisme yang berorientasikan kepada kebanggaan terhadap prestasi cemerlang generasi silam, dengan hasrat untuk meneladani kejayaan terdahulu. Pemaknaan nasionalisme demikian dinamakannya sebagai Qawmiyyat al-Majd (nasionalisme keagungan). Manakala, Al-Banna menolak pemikiran nasionalisme dalam arti kata yang mendukung pemugaran budaya pra-Islam sebagaimana langkah kaum nasionalis sekular di Turki yang telah menghapuskan segala simbol dan identiti yang bersifat keislaman pasca kejatuhan kekuasaan Ottoman. Inilah nasionalisme yang diistilahkan oleh beliau sebagai Qawmiyyat al-Jahiliyyah (nasionalisme al-jahiliyyah) yang sewajarnya dihindari oleh setiap muslim (Siddiq Fadhil 1999: 15).

Dalam pemikiran Ruhollah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, nasionalisme telah diketengahkan oleh beliau dalam metode yang logikal dan islamik. Beliau menyifatkan kecintaan terhadap watan (tanah air) serta mempertahankan keutuhan negara adalah sesuatu perkara yang boleh diterima (Kalim Siddiqui, 1985: 21). Namun, bagi beliau nasionalisme yang mendorong kepada permusuhan antara negara-negara Islam adalah perkara yang berbeda perspektifnya (mungkin ucapan beliau ketika ini merujuk kepada tercetusnya perperangan Iran - Iraq yang digelarnya sebagai perperangan yang di paksakan dan perperangan yang diplot oleh Barat untuk memusnahkan revolusi Islam Iran). Di samping itu, Khomeini dalam merumuskan penolakan terhadap versi nasionalisme Barat, menyifatkan nasionalisme seupama ini boleh mengundang permusuhan antara masyarakat Islam serta mengugat perpaduan ummah. Selain daripada itu, nasionalisme seperti ini jelas bercanggah dengan ajaran Islam serta aspirasi ummah itu sendiri. Umat Islam pada anggapan beliau, mampu untuk berdiri sendiri tanpa bergantung dengan mana-mana kekuatan maupun mana-mana ideologi (Kalim Siddiqui 1985: 22). Antara bukti ketegasan dan keyakinan Khomeini adalah melalui pelaksanaan polisi luar Tehran yaitu; la syarqiah, la gharbiyah, jumhuriyyah Islamiyyah (tidak Timur, tidak Barat, tetapi revolusi Islam).

Manakala, dimensi pemikiran Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadawi mengenai nasionalisme lebih radikal namun masih tetap menarik untuk ditelusuri. Dalam adikaryanya Maadza khasiral aalam, Binhithatil muslimin (derita dunia bila Islam mundur), beliau telah membentang secara panjang lebar mengenai bahaya ideologi nasionalisme. Menurut An-Nadawi, berkembangnya fanatik nasionalisme di Eropa adalah dipengaruhi oleh pembagian dua belahan dunia; Barat dan bukan Barat. Jadi, dengan memisahkan dunia kepada dua belahan, maka ia telah mewujudkan dua kelas manusia; kelas mulia dan kelas hina, kelas tinggi dan kelas bawahan. Tanggap An-Nadawi lagi, corak pemikiran ini merupakan lanjutan daripada pemikiran yang dianuti oleh kaum Yahudi yang mana mereka melabelkan manusia selain bangsanya sebagai goyim.

Waima, apa yang dikesalkan oleh An-Nadawi adalah sikap fanatik nasionalisme ini akhirnya telah berhasil menyerap masuk ke dalam pemikiran umat Islam. Pada An-Nadawi, pudarnya penghayatan Islam di kalangan negara-negara Islam merupakan faktor utama yang mendorong penularan fenomena ini. Bahkan tambah An-Nadawi lagi, negara-negara Islam ini tampaknya lebih terpesona dengan idea nasionalisme menurut versi Barat yang konon didakwa mampu memodenkan sebuah negara (Abul Hasan An-Nadawy 1986: 202). . An-Nadawi tidak meninggalkan kenyataan ini tanpa pembuktian. Beliau membawa contoh mengenai kebangkitan golongan Turki Muda yang telah bersengkokol dengan Mustafa Kamal Attaturk untuk mengulingkan kekuasaan Ottoman (Abul Hasan An-Nadawy 1986:199). Golongan Turki Muda inilah yang menjaja ideologi nasionalisme bagi mengantikan gagasan pan-Islamisme. Mengenang peristiwa inilah, An-Nadawi memperingatkan kita dengan memetik rakaman al-Quran dalam surah al-Hasyr: 16 yang bermaksud; pujukan orang-orang munafik itu adalah seperti pujukan syaithan, ketika dia berkata kepada manusia: kafirlah kamu, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu.

Keseluruhan pemikiran An-Nadawi tentang nasionalisme ini seolah-olah mengajak kita untuk menolak nasionalisme secara total dengan menawarkan Islam sebagai jalan penyelesaian mutlak - dalam sebarang pemasalahan manusia. Pada beliau, nasionalisme tidak lebih sebagai propaganda ciptaan Barat untuk melambatkan kebangkitan Islam yang telah dijanjikan. Dikotomi Islam - nasionalisme dalam pemikiran Dr. Burhanuddin al-Helmy Dr. Burhanuddin Al-Helmy adalah sosok yang paling layak untuk di amati, andainya kita memperkatakan mengenai dikotomi Islam dan nasionalisme.

Pemikiran politik beliau sentiasa menekankan tiga aspek terpenting dalam perjuangan beliau yaitu; kemerdekaan, kebangsaan Melayu dan Islam (Kamarudin Jaafar 2000: 9). Hujah yang beliau kemukakan sebagai sandaran adalah; kasihkan watan itu adalah bagian daripada iman dari untaian hadist Rasulullah saw. Dalam rangka untuk menyoroti lebih mendalam pemikiran tiga dimensi beliau ini, hendaklah kita himbau kembali penegasan yang pernah dibuatnya dalam tulisan beliau yang bertema Perjuangan Kita; Iman berdiri di atas tubuh. Tubuh berdiri di atas bangsa dan bangsa berdiri di atas watan. Salah satu daripada yang empat ini tiada boleh bercerai tinggal dalam binaannya tetapi watan jadi pokok. Ada watan adalah dengan kuat bangsa. Kuat bangsa keluar dari tubuh diri yang sihat kuat dan perkasa seperti pekerja, pahlawan, prajurit dan lain-lain. Maka dalam jiwa pekerja pahlawan prajurit itulah terletaknya iman (Kamarudin Jaafar 2000: 48).

Apa yang terserlah di sini, Dr. Burhanuddin coba untuk menyelesaikan dikotomi antara Islam dan nasionalisme dengan mencorakkan perjuangan nasionalisme sebagai bagian daripada elemen perjuangan Islam. Pemikiran progresif Dr. Burhanudin ini sebenarnya setaraf dengan pemikiran pemimpin pemimpin kemerdekaan di Asia pada ketika itu seperti Mahathma Gandhi, Sukarno dan Sir Muhammad Iqbal. Mungkin persamaan ini terbentuk karena pengaruh pendidikan Dr. Burhanuddin yang pernah menuntut di India. Semasa beliau menuntut di Ismaeliah Medical College dan Aligarh Muslim University, beliau berkesempatan untuk mengikuti dan mendalami doktrin perjuangan Gandhi, Ali Jinnah dan Jawaharlal Nehru untuk beliau menyesuaikan nasionalisme mereka dengan corak perjuangan di Tanah Melayu, sekembalinya nanti.

Namun begitu, perlu ditegaskan disini bahwa perjuangan kebangsaan Melayu Dr. Burhanuddin bukanlah berniat untuk menindakkan hak-hak etnik lain untuk hidup harmoni di Tanah Melayu. Sebagai pemimpin yang bersifat negarawan, beliau tidak mennampakkan dirinya sebagai pemimpin cauvinis yang ekstrim ataupun assabiyyah sebagaimana yang diwar-warkan oleh musuh politik beliau. Pendirian beliau ini ditegaskan dalam tulisannya yang bertema Falsafah Kebangsaan Melayu; Kita hendak mendirikan negara kebangsaan Melayu di atas dasar kebangsaan, menurut keadilan dan kemanusiaan yang luas sama berhak dan adil, bukan sesekali kebangsaan yang sempit, jauh sejauh-jauhnya dari berbau perkauman dan perasaan yang kolot dan kuno (Kamarudin Jaafar 2000: 110). Dalam sisi Islam pula, Dr. Burhanuddin melihat nasionalisme sebagai wasilah (alat) bukannya ghayah (matlamat).

Menurut beliau, nasionalisme mengambil posisi selunak yang mungkin serta menjadi lambang yang boleh menggembleng segala kekuatan ummah demi mencapai cita-cita mulia yang luhur dan abadi.

Dalam Falsafah Kebangsaan Melayu, - sesudah memetik surah al-Hujurat: 13, sambil menafsir ayat tersebut - beliau merintih, apalah artinya perkenalan jika tidak terlebih dahulu terdiri kekuatan kaum dan bangsa yang hari ini dikenal dengan kebangsaan itu dengan suatu kebangsaan yang lain (Kamarudin Jaafar 2000: 95). Bagi menjawab berbagai tuduhan dan tohmahan pemerintah Tanah Melayu dan pihak penjajah, Dr. Burhanuddin dalam ucapan beliau sebagai Yang Dipertua PAS ketika muktamarnya pada tahun 1957 telah mengungkapkan dengan penuh bersemangat tentang pendiriannya, sesungguhnya saya dan pihak partai Islam tidaklah berbau komunis dan imperialis, saya dan PAS adalah berisi, bersifat, berbau kebangsaan Melayu dengan cita-cita Islam (Kamarudin Jaafar 2000: 18).

Sejarah menyaksikan, dengan kenyataan tegas Dr. Burhanuddin ini, beliau telah membuktikan bahwa dirinya adalah antara tokoh yang banyak berjasa demi melihat Tanah Melayu hidup aman, makmur dan harmoni sebagaimana yang diimpikannya. Mudah-mudahan pengorbanan suci beliau ini, dinilai secara adil oleh generasi selepasnya. Dinamika Nasionalisme dalam era globalisasi Ciri globalisasi yang instantness telah menjelmakan satu fenomena baru yang sangat kompleks. Muktahir ini, memang tidak dapat dinafikan bahwa kehadiran globalisasi telah memberikan dampak besar kepada ideologi nasionalisme yang meluas dipraktikkan di kebanyakan negara-bangsa pasca Perang Dunia ke-II. Kenichi Ohmae pernah menyatakan bahwa masa depan negara-bangsa laksana dinasour yang sedang menanti kunjungan ajal. Begitu juga Daniel Bell dalam bukunya The end of idealogy yang di terbitkan puluhan tahun sebelum tamatnya era perang dingin - di mana zaman ideologi-ideologi bersaing merebut pengaruh masing-masing - telah membentangkan pandangannya bahwa persaingan ideologi sudah tidak relevan lagi dengan peredaran zaman termasuklah juga ideologi nasionalisme.

Apakah yang mendorong pemikir-pemikir ulung ini berteori sedemikian? Tidak lain, karena wujudnya paradoks antara arus sejagat dengan ideologi-ideologi, termasuklah ideologi nasionalisme. Dalam membahas persoalan rumit ini, kita perlu menyedari bahwa posisi nasionalisme dalam arus globalisi telah dipolarisasi kepada dua situasi; nasionalisme di negara maju (baca: Barat) dan nasionalisme di negara membangun (baca: negara-bangsa). Sejak dua dekad lalu, globalisasi telah membentuk jurang yang tidak adil atau bias kepada kelompok negara-bangsa yang kebanyakan terdiri daripada negara-negara membangun.

Hal ini terjadi karena negara-negara maju telah mengeksploitasi daya kekuatan ekonominya melalui sistem pengantarbangsaan ekonomi ke arah merealisasikan misi neo-kolonialisme mereka. Susulan daripada eksplotasi inilah yang menyebabkan pengaruh ideologi nasionalisme mula terancam kalangan negara-bangsa. Di samping itu, wujud juga di kalangan elit ekonomi dan politik sesetengah negara-bangsa yang terbuai dengan retorika globalisasi cerminan Barat (Abdul Rahman Embong 2000: 76). Globalisasi kini telah menghakis emosi nasionalisme.

Dengan pengamalan sistem laissez faire di kebanyakan negara-bangsa, kekayaan negara dan kuasa membeli rakyat menjadi rebutan Barat. Dewasa ini, persoalan kekentalan nasionalisme di kalangan rakyat negara-bangsa mula diperdebatkan. Masakan tidak! Rakyat negara-bangsa kini lebih memuja produk Barat sambil memperlekehkan produk nasionalnya. Ya, mungkin salah satu faktor yang mendiskreditkan nasionalisme adalah kualitas produk nasional, dimana produk nasional jelas gagal bersaing dengan produk Barat - dalam mayoritas aspek. Rentetan daripada situasi ini, nilai-nilai nasionalisme di kalangan rakyat negara-bangsa secara tidak langsungnya turut terhakis sekali. Maka tidak dapat dielakkan lagi, bahwa nasionalisme mula dihimpit oleh arus globalisasi.

Jadi, inilah tantangan yang perlu ditangani oleh nasionalisme. Tidak mustahil jika fenomena ini makin rancak dan berkelanjutan, maka ideologi nasionalisme boleh terkubur ditelan arus globalisasi yang diprakarsai oleh Barat. Bertolak dari kesadaran inilah, maka perlu tampil satu resolusi yang tegas dan jelas sebagai mempertahankan eksistensi negara-bangsa yaitu; Islam! Jawaban Islam ! sementara kita membahas mengenai ideologi nasionalisme dalam berbagai konteks; Barat dan Timur, sorotan pemikiran dari tokoh tersohor dan fungsinya dalam arus globalisasi, maka ia menyakinkan kita bahwa ideologi nasionalisme bukanlah penyelamat tunggal kepada kemanusiaan dunia. Bagi Kalim Siddiqui (1985: 1), nasionalisme tidak lebih sebagai doktrin politik yang menyerang umat Islam dalam tempoh 100 tahun terakhir ini.

Jadi, apa jawaban Islam terhadap nasionalisme? Menolak nasionalisme; membentuk gerakan Islam di seluruh dunia! Tegas Siddiqui. Dan, kini, sudah tiba saatnya, bagi umat Islam menyakini akan kemampuan Islam dalam mengurus kehidupan di samping mengikis rasa hormat yang tinggi terhadap Barat. Sungguhpun melangit tinggi keinginan kita untuk melakukan tranformasi total ini, namun masih adalah kriteria yang perlu dilengkapi sebelum hasrat kita dapat direalisasikan. Menurut Siddiqui lagi, dunia Islam dan dunia seluruhnya memerlukan seorang pemimpin yang bersifat inklusif, global dan berwibawa.

Hanya dengan lengkapnya syarat ini saja untuk membolehkan dunia menjadi satu negara-bangsa saja (Kalim Siddiqui 1985: 16). Manakala Mohamad Abu Bakar (2000: 14) melihat orde Islam sebagai alternatif. Dengan melihat keutuhan negara-bangsa sebagai unit teras dan terpenting dalam pentas politik dunia, maka menurut beliau, sebarang perubahan drastik dan dramatis hanya boleh berlaku sekiranya pengglobalan nilai-nilai Islam yang memungkinkan orde Islam yang memerintah negara-bangsa dan dunia sekaligus.

Pada beliau, inilah keadaan final sebagaimana yang dimaksudkan oleh Hassan Turabi. Turabi menegaskan, jika kesemua pergerakan Islam menjadi negara Islam, maka imbangan antarbangsa akan turut berubah. solusinya, dunia Islam mesti berubah. Meskipun sejumlah besar anggota ummah dewasa ini berada dalam diaspora, namun peluang pengglobalan Islam untuk membesar tetap cerah - selagi ummah bergerak dalam homo islamicus (manusia Islam sebenar). Samada melalui idea Siddiqui maupun idea Turabi, masing-masing ada satu persamaan yaitu; keyakinan kepada kejayaan Islam seluruhnya.

Lantaran itu, campakkanlah segala akar umbi ideologi nasionalisme dari minda ummah dan marilah kita sama-sama gerakkan satu kekuatan raksasa; mensejagatkan Islam dalam kehidupan dunia. Biarlah dunia akan datang beroperasi dalam kerangka Islam. Percayalah, nun jauh di sana ada cahaya bagi kemenangan Islam bukan hanya kemenangan muslim semata-mata.

Rujukan
1.Abdul Rahman Embong. 2000. Malaysia Menangani Globalisasi, Peserta atau Pemangsa? Di sunting oleh Noraini Othman dan Sumit K. Mandal. Cetakan Pertama. Bangi, Selangor. Penerbit UKM.
2.Abul Hasan An-Nadawy. 1986. Apa Derita Dunia Bila Islam Mundur. Terjemahan H. Zubeir Ahmad. Cetakan pertama. Malaysia. Thinkers Library Sdn Bhd.
3.Ali Akbar Hashemi Rafsanjani. 2001. Keadilan Sosial: Pandangan islam tentang HAM, Hagemoni Barat & Solusi Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Anna Farida. Cetakan Pertama. Bandung, Indonesia. Penerbit Nuansa.
4.Hamid Enayat. 2001. Modern Islamic Political Thought. Kuala Lumpur. Islamic Book Trust.
5.Kalim Siddiqui. 1985. Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah. Terjemahan Mahzan Ahmad. Cetakan pertama. Kuala Lumpur. Pustaka Al-Alami.
6.Kamarudin Jaafar. 2000. Dr. Burhanuddin Al-Helmy: Pemikiran dan Perjuangan. Cetakan Kedua. Kuala Lumpur. Penerbit Ikdas Sdn Bhd.
7.Khalid Jaafar. 2003. Tumit Achilles. Cetakan Pertama. Kuala Lumpur. Institut Kajian Dasar.
8.Prof. Madya Dr. Siddiq Faddil. 1999. Hasan Al-Banna: Kepoloporannya Dalam Gerakan Reformasi. Cetakan Pertama. Kuala Terengganu. Yayasan Islam Terengganu.
9.Prof. Madya Mohamad Abu Bakar. 2000. pengglobalan Islam dan Perpaduan Ummah: Menelusuri Politik antarbangsa Masa Kini. Cetakan Pertama. Kuala Terengganu. Yayasan Islam Terengganu

KEBANGKITAN ISLAM DAN NEGARA-NEGARA KAWASAN ARAB

Kebangkitan Islam merupakan fenomena sejarah nasional yang menumbuhkan kembali semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad. Kebangkitan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini, Al-Qur'an telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani Israil (awal surat al-Israa') dan Al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini.
Kebangkitan yang sedang kita perbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang sedang marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Kebangkitan Islam mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah dan semakin kokoh pada era sesudahnya hingga mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an.
Kebangkitan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa kesadaran baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai kebenaran Islam dan kebesaran sejarahnya. Kebangkitan Islam mengambil bentuk aktivitas sosial yang mendidik generasi muda, memakmurkan masjid, dan membersihkan sifat-sifat tercela. Selain itu, kebangkitan Islam bergerak dalam bidang politik untuk menempatkan Islam dalam politik dan jihad. Mungkin sebagian besar perhatian ditujukan kepada al-Ikhwan al-Muslimun dan Jihad Islam, namun sebenarnya kebangkitan ini digerakkan oleh banyak organisasi Islam, meskipun tidak seluruhnya menarik untuk diperbincangkan.
Bahkan, gerakan kebangkitan Islam tidak bisa hanya dihubungkan dengan pemikiran para pionir aktivis yang terorganisir an sich, melainkan harus pula melihat kecenderungan-kecenderungan pemikiran yang lain. Fenomena sosial yang luas dan kesadaran membaja untuk memisahkan diri dari gaya hidup Eropa dan kembali ke pangkuan Islam telah mendorong umat untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam realitas kehidupan.
Persoalan kebangkitan tidak terbatas pada gerakan kebangsaan, sebab disetujui atau tidak, sistem pemerintahan pun ikut memainkan peran tertentu dalam konteks kebangkitan. Peran tersebut tampak pada perilaku politik, apalagi dalam dunia pers dan pendidikan hukum, serta terutama dalam upaya menerapkan syariat Islam. Dapat ditarik suatu hipotesis bahwa kebangkitan Islam telah menjadi kekuatan sejarah yang sempurna.
Kebangkitan Islam menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Kebangkitan merupakan respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, kebangkitan Islam tidak hanya bergumul dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham. Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang kebangkitan Islam kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ini karena esensi kebangkitan tidak dapat dipahami tanpa mengembalikannya kepada akar-akar ini.
Penyertaan Qatar dalam pembahasan ini hanyalah sebagai negara yang mewakili tipe pemerintahan dalam masyarakat yang mempertahankan eksistensi keeropaan dan keislaman menuju satu kesatuan yang melampaui batas-batas geografis. Oleh karenanya, pembahasan ini terkadang tertuju kepada fanatisme nasional yang mengarah pada pemeliharaan negeri Qatar.
Bila kita berbicara mengenai kebangkitan sistem pemerintahan negara-negara Arab, maka sebaiknya kita mengingat bahwa masalah integrasi atau disintegrasi tidak dapat dikesampingkan. Meskipun secara teoretis, yang dijadikan objek kajian adalah nilai-nilai Qatar dan keintegrasiannya, namun situasi yang diamati adalah dampak kemerdekaan masyarakat Qatar dan integrasi dengan nilai-nilai Islam. Dampak langsung dari integrasi adalah tenggelamnya sistem lama di Qatar dan menangnya sistem lain. Kita akan mencermati contoh tersebut pada pembahasan mendatang.
Negara-negara Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula kebangkitan Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam merupakan agama mayoritas masyarakat Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif historis, gerakan-gerakan Islam saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
Dewasa ini, kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional dengan berbagai macam topik diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, serangan kebudayaan Barat, kegagalan sistem sekular yang ditinggalkan kaum imperialis kepada negeri-negeri Islam, dan revolusi kebangkitan Islam dalam bentuk revolusi hubungan elite. Kebangkitan Islam-Arab bekerja sama secara revolusioner dan intelektual dengan kebangkitan-kebangkitan di berbagai tempat dan situasi. Realitas Dunia Arab berhubungan dengan realitas Dunia Islam dan internasional. Berbagai kendala dan situasi kebangkitan Islam tak dapat dipahami tanpa menyinggung dimensi internasional.
Umat dan Negara-negara Kawasan Arab dalam Sejarah Islam
Islam menyatukan antara ideal-ideal absolut dan realitas nisbi. Ideal-ideal ini diabstraksikan dalam ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin syariah. Realitas merupakan kejadian-kejadian material dan situasional yang melingkupi kehidupan manusia. Sedangkan keberagamaan adalah kepercayaan psikis terhadap doktrin-doktrin kebenaran yang absolut, dan usaha kesejarahan merupakan upaya mendekatkan realitas dengan doktrin-doktrin, mengkontekstualkan iman dalam bentuk realitas yang paling ideal, dan selanjutnya berusaha terus menerus mengembangkan keagamaan menuju titik kesempurnaan ideal.
Bentuk negara Islam yang pertama dalam sejarah adalah negara Madinah yang dipandu oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk keperluan pertumbuhan regional, Rasulullah saw. menggariskan aturan-aturan regional. Al-Qur'an pun menetapkan pada akhir surat al-Anfal mengenai batasan-batasan loyalitas masyarakat yang terdiri atas penduduk asli dan imigran agar saling menjaga dan membantu.
Negara Madinah merupakan realitas regional yang berwawasan internasional. Negara ini telah melampaui realitas zamannya, sebab penduduknya percaya bahwa mereka merupakan bagian dari mata rantai umat Islam sebelumnya yang dipimpin para Rasul. Secara psikis, Madinah pun telah melampaui realitas regionalnya, sebab penduduknya telah terlibat aktif dalam konflik internasional dengan Persia dan Romawi, khususnya dalam konflik ekonomi, politik, dan agama. Negara Madinah dengan kondisinya tersebut kemudian mengokohkan Dunia Arab dan seluruh umat manusia di sana sebagai basis dan alat integrasi. Hal itu dikarenakan Arab mempunyai misi samawi.
Negara ideal berikutnya adalah Khilafah Rasyidah. Dalam sistem ini, penguasa menjadi pusat dan dorongan umum berangkat dari pusat kekuasaan. Dakwah dijalankan secara luar biasa hingga terbentuklah wilayah-wilayah baru yang berjauhan dan dihuni oleh masyarakat yang plural. Dipergunakanlah ungkapan-ungkapan politik syar'i yang sebagian kembali kepada masa kenabian. Negara-negara Arab merupakan dasar pembagian wilayah pemerintahan umum, peradilan, dan distribusi kekayaan. Dalam potret semacam ini, kesatuan kepemimpinan khilafah dijalankan tanpa pembagian kekuasaan. Di samping itu, terdapat kesatuan geografis Islam yang semula tidak mengenal kendala-kendala internal.
Meski terjadi perpecahan di kalangan penguasa serta fanatisme wilayah, etnis, dan golongan --setelah terjadi sistem pewarisan khilafah-- namun pola umum negara masih tetap berpedoman pada sistem kesatuan (integrasi). Para fuqaha yang juga merupakan para pemimpin bangsa dan idola masyarakat. Meskipun bersikap wajar terhadap para pemberontak, tetapi mereka tetap mentolerir pembagian wilayah dan upaya integrasi. Sedangkan dalam hal pemikiran, mereka mengakui eksistensi mazhab-mazhab dan kebebasan mengikutinya.
Pola ini berjalinan dengan faktor-faktor pengimbang yang ditemakan oleh masyarakat muslim dalam keluasan dan kecepatan ekspansinya untuk mewadahi pluralitas masyarakat dan kebudayaan. Ketika kondisi tersebut tidak diimbangi dengan usaha-usaha integrasi, maka khalifah pada gilirannya hanya menjadi simbol dan hanya mampu bertahan ketika kekuatan pusat pemerintahan semakin menurun. Sehingga kondisi kritis mulai terjadi, fanatisme kelompok bermunculan, dan wilayah-wilayah lain beroposisi untuk membangun pola baru dalam realitas politik umat Islam.
Pola yang meniscayakan Dunia Islam hingga saat ini adalah satu bentuk pemerintahan dengan kesatuan umat (integrasi) dan meninggalkan kesatuan politik karena tersebar luasnya negara-negara Islam. Sebagian negara Islam mengalami perkembangan karena kemampuannya membuka diri untuk menyelesaikan masalah-masalah yang yang ditimbulkan akibat letak wilayah yang jauh dari pusat.
Pemerintahan Islam telah memelopori bahwa batasan-batasan regional tidak membagi-bagi kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa-penguasa politik. Hanya ada satu lapangan ilmiah, pasar ekonomi, dan konteks kebangsaan. Kesatuan undang-undang juga menjaga dominasi hukum-hukum syariat sehingga berkembanglah mazhab-mazhab fikih dan metode-metode tasawuf untuk menegaskan kesatuan umat dalam paguyuban tarekat. Suatu prediksi dapat dikemukakan bahwa wilayah Islam akan semakin menyatu secara peradaban melalui tersebarnya berbagai mazhab dan tarekat, pertukaran ilmu dan kebudayaan, dan komunikasi melalui migrasi manusia, ilmu, dan agama. Hal itu terjadi dalam kurun waktu yang panjang pasca runtuhnya pusat politik dan kediktatoran para penguasa di negara-negara Arab. Islam, pemanduan syariat, dan terbukanya kawasan merupakan faktor-faktor penjaga kesatuan umat.
Ketika Islam tidak lagi difungsikan sebagai pengikat hati antar umat, dihapuskannya syariat, dan penjajahan imperialis, maka negara-negara Arab pun terpecah belah. Tak ada yang tersisa dari wilayah Islam kecuali hanya persaudaraan dalam jiwa kaum muslimin, kegetiran masa lampau, dan mimpi masa depan.
Umat dan Negara-negara Kawasan Eropa: Sebuah Studi Komparasi
Perkembangan negara-negara Eropa disebabkan oleh terlepasnya mereka dari agamanya, konflik berkepanjangan dalam masyarakat dan pemerintahan, dan terlampau beratnya penderitaan yang mereka rasakan. Sementara itu, ekspansi Islam menjanjikan kehidupan baru bagi mereka. Sejarah Eropa menengarai bahwa kejatuhan tersebut bukan disebabkan oleh kelengahan, melainkan karena mengingkari dasar-dasar agama mereka. Jika cita-cita kebangkitan kaum muslimin diilhami oleh Kitab Suci yang terjaga (Al-Qur'an), maka masyarakat Barat menoreh sejarah mereka dengan revolusi anti-agama.
Mayoritas masyarakat Eropa berada di bawah pengaruh Kristen selama lebih dari sepuluh abad. Menurut mereka, kondisi tersebut merupakan contoh ideal tentang nasionalisme dan peradaban bagi dunia internasional. Dalam pandangan mereka, contoh ideal tersebut berupa kebesaran imperium dan hubungan harmonis dalam hak milik nasional dan negara-negara Eropa. Kemudian nasionalisme mulai memberi kekhususan kepada para raja. Negara-negara kawasan ini semakin kokoh menuju terbentuknya Eropa modern.
Kehancuran sistem internasional lama telah memicu lahirnya teori-teori kekuasaan yang memberi penekanan pada dominasi absolut dalam batas-batas regional seperti teori Machiavelli. Dominasi ini tampak jelas pada propaganda-propaganda imperium, Paus, dan kaum feodal. Teori-teori sosial itu mengokohkan dominasi raja dan para penguasa secara absolut.
Kemudian pemikiran politik mulai berkembang dan menyuarakan dominasi bangsa dan ide liberalisme demi keuntungan individu (yang diprakarsai John Locke, para pakar psikologi sesudahnya, dan kelompok radikal), kelompok-kelompok reformasi cita-cita umum (teori Rousseau), pelestarian sejarah masyarakat (teori Hegel), dan komunisme-materialisme (teori Karl Marx).
Nasionalisme telah menguatkan posisi negara yang mengambil bentuk politik, ekonomi, dan solidaritas sebagai pengisi kekosongan agama. Tumbuhlah perasaan khusus nasionalisme serta kekhususan bahasa dan tata bahasanya. Sejarah nasionalisme bergerak melemahkan kekhususan-kekhususan tersebut dengan berbagai utopia dan data. Nasionalisme membanggakan hal tersebut. Isme ini tumbuh di benua Eropa dan Amerika.
Meskipun dominasi nasionalisme di Eropa membawa pertumbuhan material, namun akhirnya Eropa merasa gamang terhadap penyimpangan pola negara semacam ini. Mungkin kegamangan tersebut merupakan dampak tradisi kebudayaan yang plural, perkembangan teori kemanusiaan, berbagai konflik nasional, dan terbatasnya ekspansi Eropa. Maka berdirilah sistem negara-negara Eropa di atas kaidah undang-undang negara. Negara-negara ini mempunyai kawasan yang terbatas, namun tenggelam dalam konflik pada masalah-masalah yang telah disepakati kaum muslimin di kawasan Daulah Islamiah.
Kesatuan Eksternal Menuju Pluralisme Internal di Dunia Arab
Kawasan negara-negara Arab telah keluar dari kekuasaan administratif kekhalifahan Utsmani. Pada umumnya, negara-negara tersebut memisahkan diri karena pengaruh kemerdekaan politik negara-negara imperialis. Pemisahan perdana merupakan sarana munculnya nasionalisme Arab, sebab hal itu merupakan bentuk pemerdekaan dari ikatan keagamaan dan beralih menjadi nasionalisme. Fenomena tersebut tidak persis sama dengan yang terjadi di Eropa, sebab ia bukan hasil perkembangan teoretis dan material sebagaimana yang terjadi di Eropa. Nasionalisme Eropa merupakan produk yang terkait dengan eksperimen dan faktor-faktor Eropa.
Eksperimen yang pernah dilakukan orang-orang Islam dan mayoritas orang-orang Nasrani Arab berbeda dengan yang terjadi dalam sejarah Eropa. Masyarakat Barat meyakini eksperimen Eropa sebagai eksperimen murni dan memandang dirinya sebagai pusat kebangkitan dan contoh ideal pencerahan umat manusia.
Padahal yang harus diketahui adalah bagaimana strategi Eropa dalam menghadapi kekhilafahan Utsmani di medan perang dan kepiawaian memanfaatkan propaganda, hubungan politik, dan diplomasi demi keuntungan mereka. Selain itu, terjadi perang intelektual antar keduanya. Walaupun sebenarnya persatuan umat Islam dalam kekhalifahan Utsmani masih terasa, tetapi tidak mencapai prestasi nasionalisme Eropa karena perbedaan perkembangan sejarah masing-masing.
Sekiranya Arab keluar dari kekuasaan Utsmani dan berdiri di atas landasan nasionalisme, tentu ia tidak mampu. Malah sebagai ganti penguasaan kekhilafahan Utsmani, berdirilah imperialisme di Dunia Arab. Akhirnya imperialisme membagi-bagi pengaruh dan batas-batas wilayah Arab berdasarkan realitas regional historis masing-masing wilayah yang sebelumnya bersatu. Imperialisme telah mengokohkan status pembagian tersebut untuk menarik keuntungan jangka pendek dan panjang, apalagi mereka bermaksud melapangkan jalan bagi kehadiran Zionisme di tengah-tengah Dunia Arab dan memutuskan hubungan Arab dengan Dunia Islam.
Ketika bangkit keinginan melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme, gerakan pembebasan Arab segera memisahkan diri dari kelompok-kelompok yang terpengaruh kebudayaan Eropa. Kelompok-kelompok nasional gigih memperjuangkan tercapainya kemerdekaan bagi negara yang mandiri, tetapi dengan konsep-konsep Eropa.
Masyarakat merasa perlu mengedepankan warisan keagamaannya untuk mengisi kesenjangan dan memfungsikan simbol-simbol keagamaan untuk membangkitkan semangat melawan kekuatan asing yang kafir. Dalam konteks ini, Islam merupakan unsur pembentuk jati diri negara dan pemantik semangat kebangsaan. Sangat memungkinkan untuk menggunakan faktor kekuatan Islam itu bila perjuangan menemui jalan buntu. Seluruh wilayah Afrika Utara adalah contoh terbaik dari kasus ini, apalagi perjuangan kaum muslimin Aljazair melawan imperialisme Perancis. Gema Islam pun terdengar hingga di Sudan, meskipun kontrol Arab-Islam di negara ini melemah.
Peran Islam dikenal pula dalam perjuangan nasional di luar negara-negara Arab, termasuk di negara-negara Asia seperti Iran, Afganistan, dan Pakistan. Peran ini tampak pada syiar yang ditonjolkan pasca-kemerdekaan. Akan tetapi, meski masyarakat muslim berkuah darah dalam perjuangan nasional, tetapi yang menikmati kue kemerdekaan adalah para nasionalis, sedangkan orang-orang Islam hanya menjadi penonton. Peran yang dilakoni dalam perjuangan kini tinggal kenangan. Itulah sebabnya, Islam tidak berperan lagi dalam mempengaruhi proses integrasi negara-negara Arab yang mandiri.
Meskipun kelompok pembebasan nasional di Dunia Arab berpedoman sekularisme dalam pembangunan negara, tetapi upaya tersebut tidak sukses sebagaimana keberhasilan Turki Muda mendepak sistem kekhalifahan. Mereka hanya berhasil mendirikan dasar-dasar negara nasional dan mempersoalkan integrasi. Konsep negara sekular semakin mendorong negara-negara Arab untuk meninggalkan sistem syariat dan mengembangkan sistem perundang-undangan yang tidak berdasarkan Islam. Sebagai contoh adalah Hizbul-Wafd (Partai Wafd) dan Hizbud-Dustuuri (Partai Perundang-undangan) di Tunisia.
Sebagian negara Teluk Arab selamat dari sekularisasi. Negara-negara tersebut tidak mungkin berdiri dengan batas-batasnya sendiri kecuali dengan desakan imperialisme atau situasi sejarah.
Walau negara-negara Arab memupuk fanatisme dan nasionalisme --bukan solidaritas kawasan-- namun hal tersebut tidak sampai memutuskan hubungan antar bangsa seperti di Eropa. Sejarah Arab kontemporer mencatat adanya berbagai ikhtiar untuk berintegrasi yang tak menyerupai bentuk integrasi apa pun di muka bumi, sebab negara-negara Arab mengupayakan integrasi dengan nasionalisme dan agamanya. Libya berusaha berintegrasi dengan lima negara Arab, serta Mesir dan Suriah masing-masing dengan empat negara. Tidak ada negara Arab yang tidak berusaha untuk berintegrasi, meskipun kenyataannya mereka masih terpecah-pecah.