PemiluUpdate

PKS Selalu menang

Pada pemilu 2009 PKS akan memenangkan pemilu di Jakarta dengat target suara 51 persen. Dan pada tahun 2012, PKS bertekad mendudukan kadernya di kursi gubernur.

» Jangan tertipu iklan politik

Monday, August 25, 2008

Pahitnya Buah Kedaulatan Rakyat

Sebuah renungan dan himbauan bagi Partai-partai

untuk PKS, PUI, PPP, PSII 1905, Partai Masyumi, PBB, PSII, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, PNU, PKU, PAN dan PKB (Indonesia).

Tulisan hari ini yang saya angkat adalah menanggapi buah kedaulatan (sovereignity) rakyat, yang ternyata setelah menanam pohon demokrasi dengan diberi pupuk pemilihan umum dengan tujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga ciptaaan sistem trias politika yang nantinya akan memilih kepala pemerintahan, ternyata buahnya tidak seperti yang diharapkan, dimana buah dari kedaulatan rakyat yang merupakan inti yang hakiki dari demokrasi ternyata rasanya pahit.

Partai-partai politik yang berasas Islam yang dimotori oleh PKS, PUI, PPP, PSII 1905, Partai Masyumi, PBB, PSII, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, PNU dan PKU juga partai-partai politik yang berasas pancasila dengan berbasis mayoritas kaum muslimin yang dimotori oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) ternyata setelah menanam demokrasi barat dengan memberikan pupuk pemilu menghasilkan buah demokrasi yang mempunyai hakekat kedaulatan rakyat yang rasanya pahit, dimana hampir sebagian besar kaum muslimin tidak mau memakannya.

Mengapa buah kedaulatan rakyat ini terasa pahit?

Karena hasil pemilihan umum tanggal 7 Juni 1999 yang lalu melahirkan partai sekuler PDI-P-nya Megawati Soekarnoputri dan partai sekuler Golkar-nya Akbar Tandjung dan Habibie keluar sebagai pemenang dari hasil pengumpulan suara rakyat. Inilah buah pahit yang keluar dari hasil pupuk pemilu dari pohon demokrasi yang tidak diharapkan oleh partai-partai politik berasas Islam dan berasas pancasila dengan basis kaum muslimin.

Begitu pula bila kita melihat hasil Pemilu 2004 yang dilanjutkan dengan pemilihan presiden, hingga detik ini walaupun didukung oleh partai politik berasas Islam, hingga saat ini tidak ada satupun partai-partai Islam maupun pihak eksekutif untuk kembali kepada Syariat Islam, Al Quran dan Sunnah.

Tetapi memang nasi sudah menjadi bubur. Demokrasi barat yang berhakekat kedaulatan rakyat harus ditegakkan di Daulah Pancasila dengan UUD'45-nya yang sekuler dan merupakan hasil perjanjian bersama dari hampir sebagian besar rakyat Indonesia.

Nah sekarang, saya melihat dari sudut pandang konstitusi-nya daulah Pancasila yaitu UUD 1945 dengan kesimpulan bahwa UUD 1945 adalah UUD yang sekuler.

Dalam UUD 1945 tidak satu patah katapun yang tertuang dalam ayat-ayat yang menyatakan bahwa Presiden Negara Republik Indonesia adalah harus seorang laki-laki, muslim, bebas, dewasa, bijaksana dan adil seperti yang terdapat dalam persyaratan untuk menjadi seorang calon Khalifah di Khilafah Islam.

Nah, karena menurut Undang Undang Dasar 1945 Daulah Pancasila tidak menyebutkan secara jelas tentang syarat-syarat calon (misalnya, laki-laki, muslim, bebas, dewasa, bijaksana dan adil) untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, maka secara hukum yang ditunjang oleh konstitusi (UUD 1945), siapapun tanpa memandang jenis kelamin dan agama berhak menjadi calon atau dicalonkan untuk menjadi pemimpin Daulah Pancasila.

Jadi, walaupun terasa pahit memakan buah dari hasil pohon kedaulatan rakyat yang tumbuh di Daulah Pancasila dengan UUD'45-nya yang sekuler, maka seluruh rakyat Daulah Pancasila harus memakannya juga.

Kesimpulan akhir adalah, selama Islam yang menerapkan kedaulatan Allah masih dicampur adukan dengan kedaulatan rakyat yang merupakan inti yang asasi dalam demokrasi, maka selama itu usaha untuk menegakkan Islam secara menyeluruh hanyalah merupakan fatamorgana.

Inilah sedikit tanggapan/ nasehat dari saya untuk PKS, PUI, PPP, PSII 1905, Partai Masyumi, PBB, PSII, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, PNU, PKU, PAN dan PKB.

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

0 comments:

Post a Comment